Sains, filsafat dan agama merupakan tiga topik pembahasan yang cukup menarik. Ketiganya memiliki keunikannya masing-masing. Sumber dan objek pembahasannya juga berbeda satu sama lain. Ini menjadikan ketiga disiplin ini mengisi kekosongan satu sama lain. Ketiga disiplin ini jika disatupadukan akan menjadikan pandangan manusia menjadi lebih komprehensif dan objektif -walaupun memang hal ini sangat sulit dicapai.
Pertama, mari kita diskusikan terlebihdahulu istilah sains. Jika ada kesempatan lebih lanjut, kita dapat berdiskusi di lain waktu pada tulisan berikutnya tentang filsafat dan agama.
Sains berasal dari bahasa latin "scire" yang memiliki arti secara bahasa yakni "pengetahuan". Secara istilah sains dapat diartikan sebagai "mengetahui suatu objek sebagaimana adanya". Tentu, mengetahui sebagaimana adanya mengaharuskan kita untuk melakukan observasi yang terstuktur dan mengikuti metode-metode yang telah teruji kebenarannya.
Dalam pembahasannya, ada beberapa kalangan yang menyamakan istilah "sains" dalam pandangan epistemologi barat dengan "ilmu" dalam pandangan epistemologi islam. Sebelum lebih jauh, kita harus meninjau kedua istilah ini melalui tinjauan bahasa. Sains telah dibahas sebelumnya, berasal dari bahasa latin "scire" yang bermakna "pengetahuan" sedangkan ilmu berasal dari bahasa arab yang cenderung bermakna "mengetahui/ pengetahuan". Dari sini dapat kita tarik simpulan bahwa sains dalam pandangan barat memiliki makna bahasa yang sama dengan ilmu dalam pandangan islam.
Dalam perkembangannya, sains mengalami pergeseran atau pengerucutan makna. Semula hanya diartikan sebagai pengetahuan. Namun berkembang menjadi "pengetahuan sebagaimana adanya melalui observasi indrawi". Disini, terlihat jelas kecenderungan karakteristik sains yang memihak kepada indra. Hal ini mengakibatkan disingkirkannya objek seperti semi metafisik dan metafisik dalam pembahasan sains.
Lain halnya dengan ilmu yang tak membatasi dirinya dengan hanya mengobservasi benda fisik saja. Ilmu juga berkenan untuk memasukan semi metafisik dan metafisik sebagai objek kajiannya. Inilah yang membedakan antara sains dan ilmu secara objek kajian.
Sains lebih memilik untuk meneliti objek yang nampak dirasa indra. Sains pada akhirnya harus menerima konsekuensi bahwa ia harus bergantung pada empirisme. Jika tidak empiris maka tidak diakui sebagai objek kajian sains.
Sebagai contoh alam semesta yang kita tinggali. Dalam kajian sains objek yang diamati hanyalah terbatas pada sistem kerja alam semesta ini dan menafikan objek-objek metafisik seperti Tuhan, malaikat dan sebagainya. Alam semesta dianggap bekerja sesuai aturan yang terstruktur, tetap, mandiri dan tak dapat diubah. Semua itu bergerak dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur dan menggerakan. Hal ini jelas-jelas sangat berbeda dengan pandangan filsafat dan agama. Maka tidak heran jika sains akan lebih mengarah kepada sekuler-materialistik ketimbang ilmu.
Contoh lain, manusia. Dalam konteks sains, manusia hanya dikaji dari segi raganya saja sedangkan segi emosional dan spiritualnya tidak diakui. Manusia hanya dipandang sebagai makhluk yang memiliki syaraf yang rumit dan -sama seperti alam semesta- telah berjalan sesuai dengan sistem yang tak dapat diubah.
Lalu bagaimana halnya dengan matematika dan psikologi, apakah termasuk dalam kategori sains atau bukan? Mungkin dalam benak kita, keduanya dapat langsung kita justifikasi sebagai sains. Berhubungan ada istilah mathematical science. Namun jika kita mengacu kepada objek kajian kedua disiplin ini, tentu objeknya bukan benda fisik. Matematika mengkaji angka-angka yang abstrak dan psikologi menelaah tentang perilaku manusia.
Namun, pada kenyataannya kedua disiplin tersebut diakui sebagai sains oleh barat. Bukan karena objek kajiannya yang bersifat fisik keduanya diakui. Matematika diakui sebagai sains karena matematika walaupun objeknya bukan benda fisik, namun pada prakteknya matematika selalu berhubungan dengan benda-benda fisik. Inilah alasan dijadikannya matematikan ke dalam kategori sains. Sebagaimana perkataan Ibnu Sina, bahwa Ilmu ada yang bersifat fisik dan berhubungan dengan benda fisik, ada yang bersifat non fisik namun tidak masih memiliki kaitan erat dengan benda-benda fisik, terakhir ada juga benda non fisik yang tidak berhubungan dengan fisik.
Sedangkan psikologi diakui sebagai sains karena objek kajiannya -dalam barat biasanya- syaraf-syaraf manusia dan juga perilaku manusia. Hal ini tentu sudah jelas. Namun jika psikologi menginginkan kajiannya kepada emosional dan perilaku manusia, apakah psikologi dapat dikategorikan kepada sains?
Simpulannya, kedua disiplin tersebut diakui sebagai sains. Namun bukan karena objek kajiannya yang fisik melainkan karena hubungan mereka dengan benda-benda fisik yang tak dapat dipisahkan. Berbeda halnya dengan ilmu. Ilmu mengakui kedua disiplin tersebut sebagai ilmu dikarenakan objek kajiannya -mengingat ilmu mengakui adanya semi metafisik dan metafisik.
Komentar
Posting Komentar