Paham al-Sharfah
Al-Sharfah terambil dari kata صرف(Sharafa) yang berarti ‘memalingkan’; dalam arti Allah
Swt. memalingkan manusia dari upaya membuat semacam al-Qur’an, sehingga
seandainya tidak dipalingkan, maka manusia akan mampu. Dengan kata lain, kemukjizatan
al-Qur’an lahir dari faktor ekternal, bukan dari al-Qura’an sendiri.[2]
Ada
sebagian pemikir yang mengakui ketidakmampuan manusia menyusun semacam
al-Qur’an. Menurut mereka, ini bukan disebabkan oleh keistimewaan al-Qur’an,
tetapi lebih disebabkan adanya campur tangan Allah Swt. dalam menghalangi
manusia membuat semacam al-Qur’an. Paham ini menamai mukjizat al-Qur’an dengan Mukjizat
al-Sharfah.[3]
Menurut pandangan orang yang menganut
al-Sharfah, Cara Allah Swt. memalingkan manusia ada dua macam. Pertama,
mengatakan bahwa semangat mereka untuk menantang dilemahkan Allah Swt. Kedua,
menyatakan bahwa cara Allah Swt. memalingkan adalah dengan cara mencabut
pengetahuan dan rasa kebahasaan yang mereka miliki dan yang diperlukan guna
lahirnya satu susunan kalimat serupa al-Qur’an. [4]
Alasan munculnya pendapat al-Sharfah adalah; pertama,
masyarakat Arab mampu mengucapkan kata dan kalimat-kalimat semacam al-Qur`ân,
seperti yang terjadi pada Umar bin al-Khaththâb yang mengusulkan kepada nabi
untuk menjadikan Maqâm Ibrâhîm sebagai tempat shalat.[5] Umar
mengatakan;
لواتخذت
من مقام ابراهيم مصلّى
Usul
Umar ini diterima oleh al-Qur`ân dengan turunnya surat al-Baqarah ayat 125 yang
antara lain menggunakan redaksi yang sepenuhnya hampir sama dengan redaksi Umar
di atas.
Peristiwa lainnya adalah pada
suatu ketika nabi Muẖammad mendiktekan kepada ‘Abd
Allâh bin Abî Sarh agar menuliskan ayat-ayat surat al-Mu`minun, yang antara
lain berbicara tentang proses kejadian manusia.[6] Belum
lagi nabi selesai membacakan keseluruhan ayat, ‘Abd Allâh berkata;
فتبارك
الله احسن الخالقين
Mendengar
kata ‘Abd Allâh tersebut nabi berkata;
اكتب
! فهكذا انزل
“Tulislah (yang engkau ucapkan)!, karena seperti itulah bunyi
ayat yang diturunkan.”
ثُمَّ
خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا
الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا
آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Kedua, ketika
terjadi upaya pengumpulan naskah-naskah al-Qur`ân pada masa pemerintahan
khalifah Abû Bakar al-Shiddîq. Abû Bakar memerintahkan kepada Umar bin Kaththâb
dan Zaid bin Tsâbit agar berdiri di pintu masjid dan tidak menerima naskah
kecuali disertai oleh dua saksi. Penganut paham al-Sharfah berpendapat
bahwa seandainya al-Qur`ân mu’jizat dari segi bahasanya, maka tentu
kesaksian itu tidak diperlukan. Jika benar al-Qur`ân merupakan mu’jizat
maka dengan mudah ia dibedakan dengan karya manusia.[8]
Pendapat
penganut al-Sharfah ini sejatinya memberikan simpulan bahwa al-Qur`ân tidak
memiliki kelebihan dari dirinya sendiri, namun faktor dari luarlah yang
menyebabkannya memiliki kelebihan tersebut.
Tanggapan Ulama terhadap Paham al-Sharfah
M. Quraish Shihab dalam bukunya membantah kedua
argumen penganut paham al-Sharfah. Pertama, pandangan yang mengatakan
bahwa, “Semangat mereka untuk menantang dilemahkan Allah Swt.” M Quraish Shihab
berkomentar, sejarah mencatat rasa semangat mengebu-gebu yang dimiliki musuh
Islam.[9] Allah
Swt. berfirman dalam surat al-Baqarah/2: 23-24:
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن
كُنتُمْ صَادِقِينَ {23} فَإِن لَمْ تَفْعَلُوا وَلَن تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا
النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ 24
Artinya : Dan jika
kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba
Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang
benar. (23). Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan
dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia
dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir (24)
Demikianlah, mereka ditantang selamanya, dan
dipastikan tidak akan mampu. Serta mereka dipersamakan dengan batu dan diancam
untuk dijadikan bahan bakar neraka. Sejarah menjelaskan bahwa musuh Islam
berusaha menghalangi laju ajaran al-Qur’an dengan menggunakan segala cara yang
mereka mampu lakukan. Sejarah mencatat bahwa musuh Islam memerangi Nabi
Muhammad Saw. dengan pedang dan tombak. Hal ini menunjukan semangat mereka yang
sangat menggebu-gebu, hanya saja tantangan membuat semacam al-Qur’an tidak
terlayani. Mereka sadar akan kemampuan mereka yang terbatas.[10]
Adapun
dalih kedua, yang menyatakan bahwa “Allah Swt. mencabut pengetahuan dan
rasa bahasa mereka.” Agaknya, jika benar, maka seharusnya keluhan ini akan
didengar pertama kali dari musuh Islam sendiri. Bukankah seharusnya mereka yang
merasakan dan menyadarinya terlebih dahulu dan bukan penganut paham Paham
al-Sharfah. Sejarah membuktikan bahwa tidak ada keluhan pun yang terdengar
tentang hal ini dari mereka.[11]
Kritikan yang diberikan kepada pendapat ini antara lain
dilontarkan oleh al-Suyûthî. Menurutnya pendapat ini adalah fasid, karena tidak
sesuai dengan ayat al-Qur`ân;
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا
الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa al-Qur`ân ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain.”[12]
Ayat tersebut menunjukkan
bahwa mereka lemah, padahal kemampuan mereka ada. Seandainya kemampuan mereka dicabut maka tidak ada gunanya mereka
berkumpul, karena bila keadaannya seperti ini maka al-Qur`ân ibarat turun pada kumpulan
orang yang mati.[13]
Kritikan yang sama juga
dilontarkan oleh al-Qaththân. Menurutnya, dengan pendapat seperti itu sebenarnya melemahkan mereka sendiri. Sebab tidak akan dikatakan terhadap orang
yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa sesuatu itu telah
membuatnya lemah selama ia masih mempunyai kesanggupan untuk melakukannya pada
suatu waktu. Akan tetapi yang melemahkan adalah kekuasaan Allah, dan dengan
demikian al-Qur`ân bukanlah mu’jizat.[14]
al-Bâqillânî juga
mengemukakan ketidaksetujuannya dengan pendapat ini. Menurutnya, apabila perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang yang menantang al-Qur`ân
itu terlaksana, niscaya kalam Allah yang termaktub dalam al-Qur`ân itu bukanlah
mu’jizat, namun yang menjadi mu’jizat adalah shirfah itu
sendiri, sehingga kalam yang terkandung dalam al-Qur`ân tidak memiliki
kelebihan atas kalam-kalam Arab.[15]
Menurut al-Qurtubî, pendapat ini telah melanggar kesepakatan para ulama`
sebelumnya yang mengatakan bahwa mu’jizat al-Qur`ân muncul dari
al-Qur`ân sendiri. Al-Qurtubî mengatakan; jika diketahui bahwa dzat al-Qur`ân
merupakan mu’jizat karena kefashihan dan balaghahnya yang luar biasa ̶
terbukti dengan tidak ditemukannya sama sekali kalam yang sepertinya ̶ maka
sharfah bukanlah mu’jizat.[16]
Konsep shirfah
yang dianggap para pakar ‘Ulûm al-Qur`ân sebagai pendapat yang terbilang
berlebihan dan terkesan mengada-ada sehingga menuai banyak kritikan tersebut, ternyata menurut al-Bâqillânî masih
berada pada taraf yang terbilang wajar. Menurutnya masih ada pendapat yang
lebih ekstrim lagi dari pada pendapat tersebut. Pendapat yang dimaksud adalah
pendapat yang mengatakan bahwa; siapapun dapat mendatangkan semisal al-Qur`ân,
namun ketiadaan karya yang semisal al-Qur`ân adalah karena tidak adanya
pengetahuan mereka tentang bentuk susunan al-Qur`ân, seandainya mereka memiliki
pengetahuan tentang hal tersebut niscaya mereka dapat mendatangkan semisal
al-Qur`ân. Selain pendapat tersebut, pendapat yang terbilang ekstrim lagi
adalah pendapat yang mengatakan bahwa; sesungguhnya dalam bab kemu’jizatan ini,
tidak ada perbedaan antara kalam manusia dan kalam Allah, sehingga keduanya bisa
saling melemahkan satu dengan yang lainnya.[17]
Daftar
Pustaka
Al-Bâqillânî, Abû Bakar Muẖammad
bin al-Thoyyib. (t.t.) I’jâz al-Qur`ân. Mesir: Dar al-Ma’arif.
al-Qaththân, Mannâ’ Khalîl. 2009, Mabâẖits fî
‘Ulûm al-Qur`ân (Studi Ilmu-Ilmu Qur`an), Jakarta: Pustaka Litera
Antar Nusa
al-Qurthubî, Abû ‘Abd Allâh Muẖammad
bin Aẖmad bin
Abî Bakar. 2006, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Beirut: al-Risalah
al-Qurtubî
al-Suyûthî, Jalâl al-dîn. 1987,
Mukhtashar
al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Dar al-Nafâis
Shihab,
Quraish. 1998, Mukjizat al-Qur’an, Bandung: Mizan
[1] Mahasiswa Tafsir Hadits, Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[2]
M Quraish Shihab, Kemujizatan
al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), h.155
[3]
Ibid.,
[8]Ibid.,
hlm. 162.
[12]
QS. al-Isrâ`/88.
[13]
Jalâl al-dîn al-Suyûthî, Mukhtashar al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân,
(Beirut: Dar al-Nafâis, 1987, cet. 2), h. 151
[14]
Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Studi Ilmu-Ilmu
Qur`an), terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), h.
375
[15]
al-Bâqillânî, I’jâz al-Qur`ân, h. 30.
[16]
Abû ‘Abd Allâh Muẖammad bin Aẖmad bin Abî Bakar al-Qurthubî, al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: al-Risalah al-Qurtubî, 2006), juz 1, h. 119.
[17]al-Bâqillânî,
I’jâz al-Qur`ân, (Mesir: Dar al-Ma’arif), h. 31.
Komentar
Posting Komentar