Langsung ke konten utama

Paham al-Sharfah

Paham al-Sharfah
Oleh: Yudi Setiadi[1]

Al-Sharfah terambil dari kata  صرف(Sharafa) yang berarti ‘memalingkan’; dalam arti Allah Swt. memalingkan manusia dari upaya membuat semacam al-Qur’an, sehingga seandainya tidak dipalingkan, maka manusia akan mampu. Dengan kata lain, kemukjizatan al-Qur’an lahir dari faktor ekternal, bukan dari al-Qura’an sendiri.[2]
            Ada sebagian pemikir yang mengakui ketidakmampuan manusia menyusun semacam al-Qur’an. Menurut mereka, ini bukan disebabkan oleh keistimewaan al-Qur’an, tetapi lebih disebabkan adanya campur tangan Allah Swt. dalam menghalangi manusia membuat semacam al-Qur’an. Paham ini menamai mukjizat al-Qur’an dengan Mukjizat al-Sharfah.[3]
Menurut pandangan orang yang menganut al-Sharfah, Cara Allah Swt. memalingkan manusia ada dua macam. Pertama, mengatakan bahwa semangat mereka untuk menantang dilemahkan Allah Swt. Kedua, menyatakan bahwa cara Allah Swt. memalingkan adalah dengan cara mencabut pengetahuan dan rasa kebahasaan yang mereka miliki dan yang diperlukan guna lahirnya satu susunan kalimat serupa al-Qur’an. [4]
Alasan munculnya pendapat al-Sharfah adalah; pertama, masyarakat Arab mampu mengucapkan kata dan kalimat-kalimat semacam al-Qur`ân, seperti yang terjadi pada Umar bin al-Khaththâb yang mengusulkan kepada nabi untuk menjadikan Maqâm Ibrâhîm sebagai tempat shalat.[5] Umar mengatakan;
لواتخذت من مقام ابراهيم مصلّى
Usul Umar ini diterima oleh al-Qur`ân dengan turunnya surat al-Baqarah ayat 125 yang antara lain menggunakan redaksi yang sepenuhnya hampir sama dengan redaksi Umar di atas.
Peristiwa lainnya adalah pada suatu ketika nabi Muammad mendiktekan kepada ‘Abd Allâh bin Abî Sarh agar menuliskan ayat-ayat surat al-Mu`minun, yang antara lain berbicara tentang proses kejadian manusia.[6] Belum lagi nabi selesai membacakan keseluruhan ayat, ‘Abd Allâh berkata;
فتبارك الله احسن الخالقين
Mendengar kata ‘Abd Allâh tersebut nabi berkata;
اكتب ! فهكذا انزل
“Tulislah (yang engkau ucapkan)!, karena seperti itulah bunyi ayat yang diturunkan.”
Pada surat al-Mu`minun, kalimat tersebut terletak pada akhir ayat 14.[7]
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Kedua, ketika terjadi upaya pengumpulan naskah-naskah al-Qur`ân pada masa pemerintahan khalifah Abû Bakar al-Shiddîq. Abû Bakar memerintahkan kepada Umar bin Kaththâb dan Zaid bin Tsâbit agar berdiri di pintu masjid dan tidak menerima naskah kecuali disertai oleh dua saksi. Penganut paham al-Sharfah berpendapat bahwa seandainya al-Qur`ân mu’jizat dari segi bahasanya, maka tentu kesaksian itu tidak diperlukan. Jika benar al-Qur`ân merupakan mu’jizat maka dengan mudah ia dibedakan dengan karya manusia.[8]
Pendapat penganut al-Sharfah ini sejatinya memberikan simpulan bahwa al-Qur`ân tidak memiliki kelebihan dari dirinya sendiri, namun faktor dari luarlah yang menyebabkannya memiliki kelebihan tersebut.
Tanggapan Ulama terhadap Paham al-Sharfah
            M. Quraish Shihab dalam bukunya membantah kedua argumen penganut paham al-Sharfah. Pertama, pandangan yang mengatakan bahwa, “Semangat mereka untuk menantang dilemahkan Allah Swt.” M Quraish Shihab berkomentar, sejarah mencatat rasa semangat mengebu-gebu yang dimiliki musuh Islam.[9] Allah Swt. berfirman dalam surat al-Baqarah/2: 23-24:
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ {23} فَإِن لَمْ تَفْعَلُوا وَلَن تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ 24
Artinya           : Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar. (23). Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir (24)
            Demikianlah, mereka ditantang selamanya, dan dipastikan tidak akan mampu. Serta mereka dipersamakan dengan batu dan diancam untuk dijadikan bahan bakar neraka. Sejarah menjelaskan bahwa musuh Islam berusaha menghalangi laju ajaran al-Qur’an dengan menggunakan segala cara yang mereka mampu lakukan. Sejarah mencatat bahwa musuh Islam memerangi Nabi Muhammad Saw. dengan pedang dan tombak. Hal ini menunjukan semangat mereka yang sangat menggebu-gebu, hanya saja tantangan membuat semacam al-Qur’an tidak terlayani. Mereka sadar akan kemampuan mereka yang terbatas.[10]
            Adapun dalih kedua, yang menyatakan bahwa “Allah Swt. mencabut pengetahuan dan rasa bahasa mereka.” Agaknya, jika benar, maka seharusnya keluhan ini akan didengar pertama kali dari musuh Islam sendiri. Bukankah seharusnya mereka yang merasakan dan menyadarinya terlebih dahulu dan bukan penganut paham Paham al-Sharfah. Sejarah membuktikan bahwa tidak ada keluhan pun yang terdengar tentang hal ini dari mereka.[11]
Kritikan yang diberikan kepada pendapat ini antara lain dilontarkan oleh al-Suyûthî. Menurutnya pendapat ini adalah fasid, karena tidak sesuai dengan ayat al-Qur`ân;
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur`ân ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”[12]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa mereka lemah, padahal kemampuan mereka ada. Seandainya kemampuan mereka dicabut maka tidak ada gunanya mereka berkumpul, karena bila keadaannya seperti ini maka al-Qur`ân ibarat turun pada kumpulan orang yang mati.[13]
Kritikan yang sama juga dilontarkan oleh al-Qaththân. Menurutnya, dengan pendapat seperti itu sebenarnya melemahkan mereka sendiri. Sebab tidak akan dikatakan terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa sesuatu itu telah membuatnya lemah selama ia masih mempunyai kesanggupan untuk melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi yang melemahkan adalah kekuasaan Allah, dan dengan demikian al-Qur`ân bukanlah mu’jizat.[14]
al-Bâqillânî juga mengemukakan ketidaksetujuannya dengan pendapat ini. Menurutnya, apabila perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang yang menantang al-Qur`ân itu terlaksana, niscaya kalam Allah yang termaktub dalam al-Qur`ân itu bukanlah mu’jizat, namun yang menjadi mu’jizat adalah shirfah itu sendiri, sehingga kalam yang terkandung dalam al-Qur`ân tidak memiliki kelebihan atas kalam-kalam Arab.[15] Menurut al-Qurtubî, pendapat ini telah melanggar kesepakatan para ulama` sebelumnya yang mengatakan bahwa mu’jizat al-Qur`ân muncul dari al-Qur`ân sendiri. Al-Qurtubî mengatakan; jika diketahui bahwa dzat al-Qur`ân merupakan mu’jizat karena kefashihan dan balaghahnya yang luar biasa ̶ terbukti dengan tidak ditemukannya sama sekali kalam yang sepertinya ̶ maka sharfah bukanlah mu’jizat.[16]
Konsep shirfah yang dianggap para pakar ‘Ulûm al-Qur`ân sebagai pendapat yang terbilang berlebihan dan terkesan mengada-ada sehingga menuai banyak kritikan tersebut, ternyata menurut al-Bâqillânî masih berada pada taraf yang terbilang wajar. Menurutnya masih ada pendapat yang lebih ekstrim lagi dari pada pendapat tersebut. Pendapat yang dimaksud adalah pendapat yang mengatakan bahwa; siapapun dapat mendatangkan semisal al-Qur`ân, namun ketiadaan karya yang semisal al-Qur`ân adalah karena tidak adanya pengetahuan mereka tentang bentuk susunan al-Qur`ân, seandainya mereka memiliki pengetahuan tentang hal tersebut niscaya mereka dapat mendatangkan semisal al-Qur`ân. Selain pendapat tersebut, pendapat yang terbilang ekstrim lagi adalah pendapat yang mengatakan bahwa; sesungguhnya dalam bab kemu’jizatan ini, tidak ada perbedaan antara kalam manusia dan kalam Allah, sehingga keduanya bisa saling melemahkan satu dengan yang lainnya.[17]









Daftar Pustaka
Al-Bâqillânî, Abû Bakar Muammad bin al-Thoyyib. (t.t.) I’jâz al-Qur`ân. Mesir: Dar al-Ma’arif.
al-Qaththân, Mannâ’ Khalîl. 2009, Mabâits fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Studi Ilmu-Ilmu Qur`an), Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa
al-Qurthubî, Abû ‘Abd Allâh Muammad bin Amad bin Abî Bakar. 2006, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Beirut: al-Risalah al-Qurtubî
al-Suyûthî, Jalâl al-dîn. 1987, Mukhtashar al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Dar al-Nafâis
Shihab, Quraish. 1998, Mukjizat al-Qur’an, Bandung: Mizan





[1] Mahasiswa Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[2] M Quraish Shihab, Kemujizatan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), h.155
[3] Ibid.,
[4] Ibid., h. 156
[5] Ibid., h. 161
[6] Ibid.,
[7] Ibid., h. 161
[8]Ibid., hlm. 162.
[9] Ibid., h. 157
[10] Ibid., h. 157-158
[11] Ibid.,
[12] QS. al-Isrâ`/88.
[13] Jalâl al-dîn al-Suyûthî, Mukhtashar al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dar al-Nafâis, 1987, cet. 2), h. 151
[14] Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâẖits fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Studi Ilmu-Ilmu Qur`an), terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), h. 375
[15] al-Bâqillânî, I’jâz al-Qur`ân, h. 30.
[16] Abû ‘Abd Allâh Muẖammad bin Aẖmad bin Abî Bakar al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: al-Risalah al-Qurtubî, 2006),  juz 1, h. 119.
[17]al-Bâqillânî, I’jâz al-Qur`ân, (Mesir: Dar al-Ma’arif), h. 31.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

منظومة البيقونية (Manzumat al-Baiquniyah) matan dan terjemahan

أَبْـدَأُ بِالحَمْـدِ مُـصَلِّياً علـى * مُحَمَّــدٍ خَيْرِ نَبيِّ أُرْسِلا Aku memulai dengan memuji Allah dan bershalawat atas Muhammad, nabi terbaik yang diutus وَذي مـنْ أقسـامِ الحَديثِ عِدَّهْ * وَكُـلُّ وَاحِـدٍ أَتَى وَعَـدَّهْ Inilah berbagai macam pembagian hadits.. Setiap bagian akan datang penjelasannya أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهُـوَ مَا اتَّصَـلّْ* إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُـذَّ أَوْ يُعَـلّْ Pertama hadits shahih yaitu yang bersambung sanad nya, tidak mengandung syadz dan ‘illat يَرْويهِ عَدْلٌ ضَـابِطٌ عَنْ مِثْلِـهِ  * مُعْتَمَـدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِـهِ Perawi nya ‘adil dan dhabith yang meriwayatkan dari yang semisalnya (‘adil dan dhabith juga) yang dapat dipercaya ke-dhabith-an dan periwayatan nya وَالحَسَنُ المَعْروفُ طُرْقـاً وَغدَتْ * رِجَالَهُ لا كَالصَّحِيحِ اشْتَهَرَتْ (Kedua) Hadits Hasan yaitu yang jalur periwayatannya ma’ruf.. akan tetapi perawinya tidak semasyhur hadits shahih وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الحُسْنِ قَصُـرْ * فَهُوَ

Filsafat Parmenides

Filsafat Parmenides Oleh: Yudi Setiadi [1] Biografi Parmenides Parmenides   adalah seorang   filsuf   dari   Mazhab Elea .   Arti nama Parmenides adalah "Terus Stabil", atau "Penampilan yang stabil". Di dalam Mazhab Elea, Parmenides merupakan tokoh yang paling terkenal. [2] Parmenides dilahirkan di kota Elea, Italia Selatan. Ia lahir sekitar tahun 540 SM. [3] Sumber lain mengatakan bahwa ia lahir sekitar tahun 450 SM. [4] Dalam kota tempat lahirnya ia dikenal sebagai orang besar. Ia ahli politik dan pernah memangku jabatan pemerintahan. Tetapi bukan karena itu namanya dikenal. Ia dikenal oleh orang banyak sebagai ahli pikir yang melebihi siapapun juga pada masanya. [5] Parmenides merupakan logikawan pertama dalam pengertian modern. Sistmnya secara keseluruhan disandarkan pada deduksi logis, tidak seperti Heraclitus, misalnya, yang menggunakan intuisi. Menurut penuturan Plato, pada usia 65 tahun ia bersama Zeno berkunjung ke Athena untuk berdialog deng