Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan (Theory Epistemology
of Iqra’)
Oleh: Yudi
Setiadi[1]
Definisi Wahyu
Kata Wahy yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan ‘Wahyu’
merupakan bentuk Mashdar yang berasal dari akar kata waw, ha’ dan
ya’. Kata Wahy dan
derivasinya dalam al-Qur’an disebut sebanyak 78 kali. Menurut al-Ashfahani dalam Mufradat Gharib
al-Qur’an, makna awal kata Wahy adalah “isyarat yang cepat”. Wahy memiliki dua ciri utama yakni “samar”
dan “cepat”.[2]
Kata Wahyu sebagaimana dikatakan
oleh Muhamad Abduh adalah “Pengetahuan yang ada pada diri seseorang dengan
keyakinan bahwa pengetahuan tersebut bersumber dari Allah Swt., baik melalui
perantara maupun tidak.[3]
Kedudukan wahyu dalam ajaran Agama
Islam merupakan sesuatu hal yang penting. Sebab, kitab-kitab dan shuhuf yang
diturunkan Allah kepada nabi-Nya tidak lain merupakan sebuah wahyu.
Keperluan
Manusia terhadap Wahyu
Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang
memiliki keterbatasan. Karena keterbatasan tersebut, manusia membutuhkan
petunjuk serta arahan guna mengarungi kehidupan. Seringkali, dalam mengarungi
kehidupan, manusia melontarkan banyak pertanyaan. Pertanyaan tersebut sebagian
bisa dijawab, namun banyak pertanyaan manusia yang tidak bisa dijawab.
Dalam hidup ini, ada yang disebut Phenomena dan nomena. Phenomena
adalah wujud realitas yang tidak mampu dijangkau oleh indra dan nalar,
sedangkan nomena tidak dapat diperoleh oleh kedua sumber tersebut. Nomena
hanya dapat diperoleh oleh rasa, yakni iman.[4]
Manusia hanya dapat menjangkau pengetahuan yang bersifat material –pengetahuan
manusia bahkan banyak yang bersifat spekulatif dan dapat berubah-ubah.
Keterbatasan tersebut tidak dapat memenuhi rasa keingintahuan manusia tentang
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan terkait immaterial.
Keterbatasan akal dan indera pada wilayah-wilayah pembahsan tertentu
mengharuskan manusia untuk merujuk kepada wahyu. Sebagaimana perkataan
al-Farabi, “Seandainya semua pertanyaan yang muncul dan yang kita butuhkan
jawabannya dapat terjawab oleh akal, maka kita tidak memerlukan hadirnya wahyu/
nabi.”
Sarana Meraih
Pengetahun
Beragam cara yang dikemukakan oleh
para pakar ilmu, cendekiawan, para filosof dan ulama dalam memperoleh ilmu
pengetahuan. Ada yang mengandalkan akalnya dan menganggap indra sebagai sesuatu
yang menipu. Ada pula sebaliknya, menganggap indra sebagai sarana utama dalam
memperoleh pengetahuan dan menafikan akal. Sebagian orang menganggap bahwa ilmu
yang hakiki hanya dapat diperoleh melalui intuisi dan pengajaran langsung dari
Tuhan.
Allah Swt. berfirman: “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun, dan Dia menjadikan buat kamu pendengaran, penglihatan dan aneka
hati, agar kamu bersyukur.”[5]
Ayat diatas mengisyaratkan kepada
kita sarana dalam memperoleh pengetahuan. Alat pokok untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat material yakni mata dan telinga, sedangkan alat untuk
mendapatkan pengetahuan abstrak yakni melalui akal dan hati.[6]
Theory
Epistemology of Iqra’
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang
memuat petunjuk-petunjuk untuk menjalani hidup secara benar. Bukan hanya itu,
al-Qur’an memilki isyarat-isyarat terkait ilmu pengetahuan. Al-Qur’an memiliki
petunjuk-petunjuk yang cukup mendalam dan pelik terkait ilmu pengetahuan
seperti, psikologi, antrologi, kedokteran dan lain sebagainnya.[7]
Al-Qur’an sangat menganjurkan
manusia untuk mencari, memperdalam dan menyebarkan ilmu pengetahun. Terbukti
dari ayat pertama yang diturukan kepada nabi Muhammad Saw. yakni “Iqra”.[8]
Dalam al-Qur’an, kata Iqra’
disebut sebanyakn enam kali. Kata iqra’ berasa dari kata qara’a –
yaqrau’ – iqra’ dan qiraatan. Kata qara’a berarti
‘menghimpun, mengumpulkan.’ Lebih jauh, kata qara’a mengandung aneka
ragam makna lain, seperti ‘menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami,
meneliti, dan mengetahui ciri sesuatu.’[9]
Bila dihubungkan dengan konteks
pembicaraan yang dibicarakan oleh al-Qur’an maka iqra’ memiliki dua
pengertian yakni, membaca yang sifatnya material dan membaca yang sifatnya
immaterial.[10]
M. Quraish Shihab dalam bukunya ‘al-Lubab’ mengatakan bahwa, “membaca yang
merupakan perintah Allah yang pertama adalah kunci keberhasilan hidup duniawi
dan ukhrawi. Selama itu dilakukan demi karena Allah Swt., yakni demi kebaikan
dan kesejahteraan makhluk.”[11]
Pesan-pesan keilmuan Al-Qur’an
dapat terlihat dari surat yang pertama kali turun yakni Al-Alaq: 1 yang
berbunyi Iqra’ bismi rabbik. Kata iqra’ menunjukan bahwa
Al-Qur’an sangat memerintahkan manusia untuk membaca. Karena membaca merupakan
pintu gerbang menuju pengetahuan yang hakiki. Term selanjutnya yang disandingkan
dengan term iqra’, yakni bismi rabbik, menunjukan pesan
ketauhidan yang dibawa Al-Qur’an dan mengukuhkan bahwa sumber segala
pengetahuan berasal dari Allah swt.
Teori tersebut didukung oleh
Prof. Hull dalam bukunya History and Philosophy science. Ia menuliskan
bahwa agama dan ilmu pengetahuan selalu mengalami pergumulan setiap enam abad.
Dimulai dari abad VI SM – I M
yang dikuasai oleh ilmu pengetahuan. Di fase ini ilmu pengetahuan mengalahkan
doktrin-doktrin agama. hal tersebut dibuktikan dengan munculnya ilmuan dan
filosof asal Yunani seperti, Thales, Democritus, Socrates, Plato, Aristoteles
dan lain-lain.
Fase kedua dimulai dari abad I M
sampai VI masehi. Fase ini dimenangkan oleh agama. doktrin-doktrin agama sangat
melekat pada fase ini, sehingga tidak adanya ilmuwan yang muncul sama sekali.
Hal ini dapat dilihat di eropa dengan adanya the Dark Ages. Pada fase
ini terdapat raja-raja yang otoriter dan gereja yang memiliki super power.
Jika ada teori-teori pengetahuan yang berseberangan dengan doktrin raja dan
gereja maka akan dihukum.
Fase
ketiga dimulai dari abad VI M sampai XII M. Disinilah fase yang
mengolaborasikan ilmu pengetahuan dan agama. Fase ini merupakan fase
kebangkitan islam. Hal tersebut ditandai dengan dengan dilahirkannya Muhammad
saw. (570 M).
[1]
Mahasiswa Tafsir Hadits,
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[2]
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia
al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Jilid. 3, h. 1052-1053
[4]
M. Quraish Shihab, Menabur
Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 292
[6]
M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an Jilid 2, (Tangerang: Lentera Hati, 2011), h. 349
[7]
Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.43
[8]
Surat Al-‘Alaq, mayoritas
ulama sepakat bahwa ayat yang pertama turun adalah al-‘Alaq ayat 1-5
[9]
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia
al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Jilid. 1, h. 356
[10]
Ibid.,
[11]
M. Quraish Shihab, al-Lubab,
(Tangerang, Lentera Hati, 2012), h. 689
Komentar
Posting Komentar