Inovasi Iqra’ Bismi
Rabbik sebagai Prinsip Pendidikan Islam guna Meningkatkan IQ, EQ dan SQ
Oleh: Yudi Setiadi[1]
Definisi Pendidikan
Pendidikan merupakan sesuatu untuk
mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup.
Menurut Charels E Siberman, pendidikan tidak identik dengan pengajaran yang
hanya terbatas pada pengembangan intelektual saja, melainkan mengembangkan seluruh
aspek kepribadian manusia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menjelaskan bahwa, “Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan perbuatan; proses; cara mendidik. Dalam konsep ini pengertian
pendidikan masih mengacu kepada tujuan utama pendidikan yakni sebagai proses
pendewasaan. Ada beberapa faktor manusia dianggap dewasa yakni:
A.
Menjadi manusia yang mandiri dan tidak bergantung pada
diri orang lain
B.
Dapat Bertanggungjawab atas perbuatannya
Problematik Pendidikan di Indonesia
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk
Indonesia Raya.” merupakan sebagian
lirik dari Lagu Kebangsaan Indonesia. Lirik tersebut menggambarkan cita-cita luhur para pendahulu bangsa yang seharusnya menjadi salah satu dasar dan
acuan yang kuat untuk merancang dan menerapkan sistem pendidikan nasional. Namun, fenomena yang terjadi dalam
masyarakat dewasa ini,
seperti pelecehan seksual, korupsi, dan lain sebagainya,
mencerminkan ketidakefektifan sistem pendidikan bangsa dalam membina karakter dan moral spiritual
pendidikan.
UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah, “Menciptakan
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab“. Tujuan pendidikan
nasional tersebut sulit untuk direalisasikan. Hal itu dikarenakan penerapan
sistem pendidikan nasional saat
ini masih
berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) saja, sementara
dimensi
kecerdasan yang lain seperti kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ) dimarginalkan.
Banyak
orang yang cerdas akademik tetapi gagal dalam pekerjaan dan kehidupan
sosialnya. Mereka memiliki kepribadian yang terbelah (Split Personality).
Hal tersebut dikarenakan tidak
terjadinya
integrasi antara otak dan hati. Kondisi
tersebut pada gilirannya
menimbulkan krisis multi dimensi yang sangat memprihatinkan.
Para pakar menyadari bahwa kesukesan seseorang
tidak hanya ditentukan oleh kemampuan otak dan daya pikir semata, namun lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan
emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Tentunya ada yang salah dalam pola pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) atau penerapan sistem
pendidikan nasional yakni
terlalu mengedepankan IQ dan mengabaikan EQ dan SQ. Itulah sebabnya, penerapan tiga dimensi
kecerdasan sangat penting dalam sistem
pendidikan bangsa sebagai
solusi dalam membentuk karakter siswa yang ideal.
Kecerdasan Pada Manusia
Ada tiga kecerdasan manusia yaitu:
1. Kecerdasan intelektual (IQ)
Menurut Stephen R. Covey, IQ
adalah kecerdasan manusia yang berhubungan dengan mentalitas, yaitu kecerdasan
untuk menganalisis, berfikir, menentukan kausalitas, berfikir abstrak, bahasa,
visualisasi, dan memahami sesuatu.
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
Kecerdasan emosional
digambarkan segabai kemampuan untuk memahami suatu kondisi perasaan seseorang,
bisa terhadap diri sendiri ataupun orang lain, kecerdasan ini lebih tepat diungkapkan
dengan What I Feel.
3. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual (SQ)
sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalan konteks makna yang
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindalan atau jalan hidup
seseoarang lebih bermakna di bandingkan dengan yang lain.
Pendidikan
Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan ideal
yang mengambangkan kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ) serta spiritual
(SQ), Sebab visi dan misinya adalah “Rahmatan lil ‘alamin”, yaitu untuk
membangun kehidupan dunia yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum dan
harmonis. Pendidikan Islam penuh dengan nilai Ilahiyyah dan Insaniyyah;
agama islam merupakan sumber akhlak, kedudukan akhlak sangat penting sebagai
pelengkap dalam menjalankan fungsi kemanusiaan di bumi. Dalam Islam,
pendidikan diartikan sebagai sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan
manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertakwa kepada Tuhan serta mampu
mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah di bumi, yang berdasarkan pada ajaran
al-Qur’am dan sunnah, maka tujuan dari konteks ini berarti terciptanya
insan-insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.[3]
Imam
al-Ghazali, sebagaimana dikutip dalam buku Zainuddin yang bejudul Seluk Beluk
Pendidikan al-Ghazali, memandang dan membagi tujuan pendidikan menjadi tiga
aspek, yaitu:
A.
Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia berfikir,
mengadakan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menjadi manusia
yang cerdas dan terampil;
B.
Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar
berakhlak mulia dan berkepribadian yang kuat;
C.
Aspek keTuhanan, yang mengantarkan manusia beragama
agar dapat mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat.[4]
Inovasi Iqra’ Bismi Rabbik Sebagai Prinsip
Pendidikan Islam
Iqra’ Bismi Rabbik merupakan prinsip pendidikan yang bertolak pada surat
yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yakni al-‘Alaq ayat 1-5.
Rasulullah Saw. bersabda:
عن
أبي هريرة: تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله و سنتي (رواه الحكيم)
Nabi
Muhammad Saw. telah meninggalkan dua perkara agar manusia bahagia di dunia dan
akhirat yakni al-Qur’an dan sunnah.
Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk Islam. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa
ilmu pengetahuan dan wahyu merupakan dua aspek dari sumber kebenaran yang sama,
tidak ada pertentangan antara keduanya. Wahyu pertama yang diturun kepada Nabi Muhammad Saw.
adalah perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan menekankan pentingnya arti
belajar dalam kehidupan umat manusia.[5]
Al-Qur’an juga menganjurkan manusia untuk senantiasa berdoa agar Allah Swt.
Menambah ilmu pengetahuan kepadanya.[6]
Surat al-‘Alaq 1-5 adalah ayat pertama yang
diturunkan Allah Swt. Ayat ini sangat syarat dengan perintah pendidikan, salah satunya
membaca. Membaca merupakan salahsatu aktifitas yang tidak dapat diabaikan, baik
membaca yang tersurat maupun yang tersirat. Muhammad Abduh menegaskan
surat al-alaq 1-5 bahwa Allah Swt. yang memberikan potensi ilmu pengetahuan
kepada manusia dari yang tidak ada menjadi ada, dari yang tidak pandai menjadi
pandai. Hanya saja manusialah
yang mengelola potensi ilmu yang ada pada dirinya.
Iqra’ merupakan kata pertama dari wahyu Allah Swt. yang
diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Iqra’ merupakan kata yang membuka
cakrawala ilmu pengetahuan untuk memahami tentang alam dan isinya. Kata ini
sedemikian penting sehingga diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama.
Mungkin mengherankan bahwa perintah membaca ditujukan kepada orang yang tidak
bisa membaca. Namun keheranan ini sirna jika disadari arti kata iqra’
dan disadari pula bahwa perintah ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muahmmad
Saw. semata, tetapi juga untuk semua umatnya.
اقْرَأْ بِاسْمِ
رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)
Kata iqra’ dalam ilmu nahwu, termasuk dalam
kategori muta’addin yakni kata kerja yang membutuhkan objek. Akan
tetapi, dalam ayat ini Allah Swt. tidak menyebutkan objeknya. Sebagian ulama
berpendapat bahwa objek dari kata iqra’ bersifat umum, baik yang
tersurat/ tekstual (Qauliyah) maupun yang tersirat/ kontekstual (Kauniyah).
Dari ayat pertama, Iqra’ Bismi Rabbik, dapat dipahami
bahwa membaca yang diajarkan oleh Islam tidak terbatas pada yang tertulis namun
juga membaca selain yang tertulis seperti membaca perasaan manusia, membaca
tujuan hidup, proses suatu kejadian. Tentu saja, dari ayat ini dapat
disimpulkan bahwa al-Qur’an telah memeberikan isyarat pendidikan yang tidak
hanya mengembangkan intelektual saja, namun juga mengembangkan emosional dan
spiritual.
Huruf (ba)
pada kata (bismi) ada yang memahami sebagai penyertaan atau mulabasah
sehingga dengan demikian ayat tersebut berarti “bacalah beserta dengan nama Tuhanmu”.[7]
Perintah membaca, menelaah, meneliti dikaitkan dengan “bismirabbik”.
Penilaian ini merupakan syarat sehingga menuntut pembaca bukan saja sekedar melakukan
bacaan dengan ikhlas, melainkan juga memilih bahan-bahan bacaan yang tidak
mengantarkan kepada hal-hal yang bertantangan dengan nama Allah.[8]
Jika diuraikan lebih rinci, kata Iqra’
mendukung pengembangan intelektual dan emosional sebab ayat ini bermaksud
menganjurkan manusia untuk membaca yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Sedangkan kata Bismirabbik mendukung pengembangan spiritual. karena kata
Bismirabbik, menurut sebagaian ulama, merupakan syarat dari kata Iqra’.
Sebagian ulama berpendapat, Huruf (Ba) pada
kata (bismirabbik) ada
yang memahami sebagai penyertaan atau Mulabasah sehingga dengan demikian
ayat tersebut berarti “Bacalah
beserta dengan nama Tuhanmu.”[9]
خَلَقَ الْإِنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ (2)
Dalam ayat kedua, terdapat satu hal yang
menarik yakni kata ‘Alaq. Kata ‘Alaq dapat diartikan sesuatu yang
bergantung. Dari sini dapat dipahami tentang sifat manusia sebagai makhluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi tergantung pada orang lain. Hal
ini juga mengindikasikan kecerdasan emosional.
اقْرَأْ وَرَبُّكَ
الْأَكْرَمُ (3)
Dalam ayat ketiga terjadi pengulangan kata Iqra’.
Hal ini mengandung arti perlunya metode pengulangan dalam proses pendidikan.
Membaca tidak cukup satu kali, tapi berkali-kali. Bisa jadi suatu objek pernah
dibaca sebelumnya, namun dianjurkan untuk dibaca kembali karena akan
mendapatkan sesuatu yang lebih dari kegiatan membacanya yang kedua kali. Selain
itu, mengulangi bacaan juga dapat mengukuhkan pengetahuan yang telah didapatkan
sebelumnya. Semakin banyak membaca semakin hapal.
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Terdapat pengulangan kata “Allama” pada
ayat empat dan lima. Sebagian ulama berpendapat, Ayat empat memerintahkan
manusia untuk belajar dan ayat kelima memerinthkan manusia mengajarkan ilmu kepada sesama. Artinya, Islam
menetapkan wujubutta’allum dan wujubutta’allim sebagai perwujudan
prinsipnya bahwa ilmu itu adalah hak setiap orang. Ajaran Islam menunjukan tiga
jalur yang menuju kepada pencapaian ilmu pengetahuan yaitu:
1. Mengenal tulisan dan
membaca
2. Penalaran (al-Nazhar)
dan penelitian (al-Taamul) atas rahasia-rahasia alam/ makhluk ciptaan
Allah
3. Pengembaraan di bumi
Etos ilmiah Islam yang menjadi pangkal etos
ilmiah modern sekarang ini berawal dari sikap-sikap memperhatikan dan
mempelajari alam sekeliling, baik alam besar, yaitu jagat raya maupun alam
kecil, yaitu manusia dan kehidupannya. Etos
ilmiah Islam bertolak dari rasa keimanan dan taqwa, kemudian membimbing dan
mendorong orang ke arah tingkat keimanan dan taqwa yang lebih tinggi dan
mendalam.
Dalam
perspektif al-Qur’an, prinsip dan proses pendidikan Islam disebutkan dalam
surat al-Alaq, secara keseluruhan mencakup tujuan pendidikan yaitu diangkatnya
derajat orang yang berilmu, metode pembelajaran yaitu pengulangan atau
pembiasaan, materi pendidikan, pendidik,
peserta didik.
Dengan adanya tulisan ini, penulis berharap
agar pemerintah dapat menerapkan prinsip pendidikan yang terdapat dalam surat
al-‘Alaq ayat 1-5. Bukan hanya itu, sebagai pribadi, keluarga serta masyarakat
semoga dapat mengaplikasikan surat al-‘Alaq 1-5 terutama dalam pendidikan.
[1] Mahasiswa Tafsir Hadits, Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[2] Burhanuddin Salam, Pengantar
Paedogogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997),
h.13
[3] Armai Arif, Pengantar dan Ilmu
Pendidikan DALam Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 16
[4] Zainuddin, dkk, Seluk Beluk
Pendidikan Dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 48
[5] lihat QS. Al-Alaq: 1-5
[6] lihat QS. Thaha: 114
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an), (JAKarta : Lentera Hati,
2003), h. 392-393
[8] M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 168
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an), (JAKarta : Lentera Hati,
2003), h. 392-393
Komentar
Posting Komentar