Fenomena Pudarnya Eksistensi Takzim
Oleh: Kementerian Pendidikan Keluarga Mahasantri Pondok Luhur Sabilusslam
“Saya menjadi hamba bagi orang yang mengajariku satu
huruf ilmu;
terserah ia mau menjualku, memerdekakan atau tetap
menjadikanaku hamba,”
Ali bin Abi
Thalib Ra.
Islam sebagai
agama, sangat menganjurkan umat manusia untuk menuntut ilmu. Allah Swt. telah
berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu
pengetahuan (QS. Al-Mujadalah: 11). Hal
itu dikarenakan ilmu merupakan elemen terpenting bagi kehidupan manusia. Ilmu
bukan saja menjamin kesejahteraan di dunia namun juga menjamin kesejahteraan di
akhirat. Segala hal yang dilakukan manusia akan lebih bermanfaat jika dilakukan
dengan ilmu.
Namun
mendapatkan ilmu tak semudah membalikan telapak tangan. Perlu kerja keras dalam
meraihnya. Bahkan, ulama-ulama terdahulu harus rela menghabiskan waktunya
berjalan kaki ratusan kilo meter hanya untuk mendapatkan ilmu.
Ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi seseorang jika ingin merasakan buah dari ilmu yang
didapat. Selain menghargai ilmu, kitab-kitab ilmu, menghormati para ahli ilmu,
seseorang yang menginginkan ilmu dituntut untuk menghormati/ takzim kepada guru
serta memuliakannya. Keridaan seorang guru merupakan hal utama bagi seorang
murid. Dengan rida, seorang murid akan mudah mendapatkan transmisi ilmu
sekaligus transmisi nilai-nilai ruhani dari seorang guru.
Inti dari
takzim kepada guru yakni tidak membuat guru marah, murka dan merasa kesal serta
menjalankan segala perintah yang dalam konteks keagamaan tidak bertentangan.
Ali bin Abi
Thalib, sebagaimana dikutip Syaikh az-Zarnuji dalam Kitab Ta’lim Muta’alim,
mengatakan bahwa, “Saya menjadi hamba bagi orang yang mengajariku satu huruf
ilmu; terserah ia mau menjualku, memerdekakan atau tetap menjadikanaku hamba,”
Harun al-Rasyid
pernah meminta seorang guru agar mendidik anaknya yang masih kecil. Suatu
ketika, Harun al-Rasyid melihat guru anaknya sedang berwudu dan anaknya
mengucuri kaki guru dengan air. Seketika itu Harun al-Rasyid berkata kepada
guru tersebut, “Saya mengirim anak saya untuk belajar ilmu kepada Anda, kanapa
Anda hanya menyuruh anak saya mengucuri kaki Anda dengan kedua tangannya.
Kenapa Anda tidak menyuruhnya untuk mengucuri kaki Anda dengan satu tangan dan
membasuh kaki Anda dengan tangan lain,”
Imam Syafi’i
ketika sedang mengajar sekumpulan orang di majlisnya pernah didatangi oleh
seorang yang baduy yang berpakaian kotor dan compang-camping. Banyak orang yang
kaget dengan kedatangan baduy tersebut. Namun, kekagetan mereka bertambah
ketika Imam Syafi’i beranjak dari tempatnya mengahmpiri baduy tersebut seraya memeluknya.
Setelah Imam Syafi’i selesai mengajar, seseorang bertanya, “Kenapa Engkau
memeluk baduy itu,” Imam Syafi’i menjawab dengan bijak,”Baduy tersebut tidak
lain merupakan guruku. Dia pernah mengajarkanku sebuah ilmu yang dari ilmu
tersebut aku dapat menyelesaikan kitab yang kutulis. Baduy tersebut
mengajarkanku tentang perbedaan anjing yang telah cukup umur dan yang belum
cukup umur.”
Dari ketiga
cerita diatas dapat disimpulkan bahwa betapa ulama-ulama terdahulu sangat
takzim kepada gurunya. Mereka tak segan untuk melakukan hal yang bahkan
kebanyakan orang tidak sudi melakukannya demi seorang guru.
Pudarnya Takzim kepada Guru
Seiring
perkembangan zaman, para murid telah banyak mengalami kemerosotan. Sedikit
banyak, murid sudah tidak mengindahkan norma-norma dan sopan santun kepada
guru. Murid-murid cenderung melampaui
batas dalam berinteraksi dengan guru dan terkadang membangkang terhadap
perintah guru, padahal Imam al-Ghazali mengatakan dalam Ihya Ulumuddin
bahwasannya seorang murid tidak boleh sombong dan membangkang, namun memberi
kebebasan terhadap perintah guru. Sebagaimana pasien membebaskan seorang dokter
dalam memberikan resep obat, karena seorang dokter lebih mengetahui sesuatu
yang pasien butuhkan.
Pepatah masyhur
mengatakan “Anggaplah guru sebagai temanmu”. Pepatah ini mungkin ada benarnya.
Hal ini diharapkan agar para murid mudah menerima transmisi nilai-nilai ruhani
dan ilmu dari guru. Namun, realita yang terjadi tidak seperti yang diharapkan.
Banyak para murid yang cenderung meremehkan kedudukan seorang guru. Bahkan terkadang
seorang murid memberikan sikap yang kurang baik terhadap gurunya.
Takzim dan
ketaatan seorang murid sekarang berbanding terbalik dengan kemajuan teknologi.
Jika teknologi berkembang pesat berbeda halnya dengan sikap takzim murid kepada
gurunya. Tingkat takzim seolah merosot jauh tak terkendali, sehingga seorang
murid tak lagi menganggap seorang guru menjadi panutan dan seorang yang
dihormati. Seperti contoh kasus disalah satu Sekolah Lanjut Tingkat Menengah Atas
(SLTA) di daerah Solo pernah terjadi kasus seorang murid menikam seorang guru
yang sedang mengawas ujian menggunakan cutter. Hal itu terjadi karena
hal yang sepela yakni seorang guru lamban membagikan soal ujian (Merdeka.com).
Dalam Kitab Ta’lim
Muta’alim dijelaskan, Takzim kepada guru merupakan suatu kebutuhan yang
harus dilaksanakan seorang murid diantaranya, seorang murid tidak melintas di
depan guru, tidak menduduki tempat guru, tidak memulai berbicara kecuali jika
diizinkan oleh guru, tidak banyak berbicara di sebelah guru, tidak memberikan
pertanyaan yang membosankan serta harus mengetahui waktu bertanya. Seorang
murid yang memiliki sikap takzim
Bandingkan hal
diatas dengan realita sekarang. Hampir jarang para murid yang mempraktikan hal
tersebut. banyak yang tak segan ceplas-ceplos dan memotong perkataan
ketika guru menjelaskan dan duduk ditempat guru ketika belum datang. Menjadikan
guru sebagai guyonan ketika guru tak ada. Merasa senang ketika guru tak
menghadiri majlis dan masih banyak lain.
Tentu saja hal
ini sangat memprihatinkan sekaligus membahayakan bagi keberlangsungan
pendidikan bangsa. Secepatnya semua pihak terkait seperti, orang tua, guru
serta pemerintah menyelesaikan permasalahan ini.
Bagi pemerintah
seyogyanya memberikan sistem yang sesuai dan tidak hanya mementingkan
intelektual saja. Pemerintah dituntut untuk membaca kondisi dan problematika
pendidikan sekarang dan memberikan porsi lebih untuk mata pelajaran akhlak agar
para murid mengetahui tata krama dan dapat memposisikan dirinya dengan benar.
Selain itu, pihak orang tua juga berperan penting untuk memberikan pemahaman
pertama kepada anaknya, sebagaimana yang cerita Harun al-Rasyid di atas.
“Jika seorang ibu mampu melahirkan seorang raja,
maka seorang guru mampu menjadikannya raja yang bijak.
Maka anggaplah guru adalah orang tua kedua”
Wallahu a’lam.
. .
Komentar
Posting Komentar