Hadits
Maudhu’
Maudhu’
berasal dari bahasa arab yang berakar kata وضع – يضع yang
berarti mengada-ngada, dibuat-buat. Dalam kita Ulum al-Hadits Wa Musthalahuh karya Subhi al-Shalih Hadits Maudhu’ yakni :
هو ما نسب الى الرسول الله اختلاقا
وكذبا مما لم يقله او يفعله او يقره
“Hadits Maudhu' ialah Apa yang disandarkan kepada
Rasulullah Muhammad Saw. Secara mengada-ngada dan bohong dari apa yang tidak
dikatakan beliau atau tidak dilakukan dan atau tidak disetujui.”
Dalam Mandzhumah al-Baiquniyah disebutkan:
الكذب المختلق المصنوع على النبي
فذالك الموضوع
“Hadits yang dibuat-buat (dipalsukan) atas nama Nabi
itulah Hadits Maudhu’”
Sedangkan, M. Abu Rayah mendefinisi Hadits Maudhu’
adalah “Hadits yang diciptakan dan dibuat oleh seseorang yang kemudian
disandarkan kepada Rasulullah Saw. secara palsu dan dusta, maupun disengaja
atau tidak.”
Dari beberapa definisi diatas diketahui bahwa hadits
Maudhu’ yaitu:
1.
Perkataan,
perbuatan dan persetujuan yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. padahal bukan
dari Rasulullah Saw.
2.
Disengaja ataupun tidak disengaja.
Hadits
Maudhu’ muncul pertama kali ketika zaman pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib Ra. yang sedang bersengketa dengan Muawiyah bin Abu Sofyan, kejadian ini
sering disebut dengan Fitnah al-Kubra. Dari
beberapa literatur yang ada, dikatakan bahwa puncak pembuatan Hadits Maudhu’ berada
pada abad satu dan dua Hijriah.
Jika
mengacu kepada pengertian yang disajikan oleh M. Abu Rayah, dapat diketahui
bahwa penyebab Hadits Maudhu’ ada dua tipe, disengaja dan tidak disengaja. Pertama, sebab yang disengaja disebabkan
oleh berbagai kepentingan seperti, kepentingan politik, dendam musuh Islam,
fanatik kabilah, negeri ataupun pimpinan, karangan tukang dongeng (Qashshash),
menjilat penguasa, perbedaan (khilafiyah) madzhab, dan lain sebagainya. Kedua, sebab yang tidak
disengaja seperti, adanya penyusup hadits palsu dalam karya periwayat seorang
perawi tanpa sepengetahuan perawi dan kekeliruan atau kesalahan diri perawi.
Sangat disayangkan masih ada orang yang berbohongan
dan parahnya disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini tidak sesuai dengan
yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. yakni kejujuran dalam berkata dan berbuat.
Rasulullah Saw. sangat mewajibkan umatnya untuk berkata dan berbuat jujur
bahkan Rasulullah Saw. bersabda :
من كذب علي متعمدا فاليتبوأ مقعده
من النار
“Barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka
hendak siap-siaplah tempat tinggalnya di dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama sepakat bahwa bohong termasuk dosa besar, ulama hadits
menolak hadits yang dibawa oleh seorang pembohong atas nama Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. Bersabda :
من حدث عنى بحديث يرى انه كذب فهو
أحد الكذابين
“Barang siapa yang memberitakan dariku suatu hadits
yang diketahui bahwa ia bohong, maka ia tergolong salah seorang pembohong.”
(HR. Muslim)
Meriwayatkan
atau menyampaikan hadits Maudhu’ harus dibarengi dengan penjelasan
ke-Maudhu’-an hadits, dengan begitu dapat diketahui bahwa itu bukan dari Nabi
dan dapat umat dapat memelihara sunnah dengan lebih terjaga.
Dari
kedua hadits diatas dapat diketahui bahwa Hadits Maudhu’ tidak boleh diyakini
datangnya dari Rasulullah Saw. Jika diyakini Hadits Maudhu’ datang dari Rasul, maka
hal ini dapat menodai kesucian Hadits Nabi. Oleh karena itu, penting bagi umat
untuk mengetahui beberapa hadits Maudhu’ yang telah tersebar dan masih dianggap
berasal dari Nabi (padahal bukan dari Nabi). Berikut beberapa Hadits Maudhu’
yang terkenal dan telah tersebar di kalangan umat :
1.
Carilah
ilmu sampai Negeri Cina
الطلبوا العلم ولو بالصين
“Carilah ilmu walau ke Negeri Cina.”
Dalam
hadits terdapat seorang perawi yang bernama Abu ‘Atikah. Tarif bin Sulaiman
berkata bahwa Abu ‘Atikah tidak memiliki kredibilitas sebagai seorang perawi.
Menurut al-Sulaiman, Abu ‘Atikah dikenal sebagai pemalsu hadits. Bahkan Imam
Ahmad bin Hanbal menentang keras hadits ini.
2.
Kerjakanlah urusan keduniaanmu seakan kau hidup
selamanya, kerjakanlah urusan akhiratmu seakan kau mati besok
اعمل لدنياك كانك
تعيش ابدا.و اعمل لأخرتك كانك تموت غدا
“Bekerjalah
untuk duniamu seakan kau hidup selamanya, kerjakanlah akhiratmu seakan kau mati
besok.”
Syaikh
M. Natsir al-Din al-Albani berpendapat, meski populer namun hadits tersebut
tidak memiliki sanad dan tidak sampai kepada Rasulullah Saw.
3.
Wanita
adalah tiang negara
المرأة عماد البلاد إذا صلحت صلحت
البلاد وإذا فسدت فسدت البلاد
“Wanita adalah tiang negara. Jika sholeh maka baiklah
negara, jika buruk maka buruklah negara.”
Sementara
ini, redaksi diatas dianggap bukan hadits, hanya perkataan ulama atau tokoh
biasa,bukan dari Nabi Saw. Namun, semakin hari dianggap sebagai hadits. Pada
dasarnya, redaksi ini bisa disampaikan karena mengandung makna yang bagus.
Namun perlu diingat dan perlu disampaikan bahwa ini bukan hadits Nabi Saw.
4.
Barang
siapa yang menginginkan dunia dan akhirat maka dengan ilmu
من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن
أراد الأخرة فعليه بالعلم. و من أرادهم فعليه بالعلم
“Barang siapa yang menginginkan dunia maka dengan
ilmu, barang siapa yang mengingkan akhirat maka dengan ilmu, dan barang siapa
yang mengingkan keduanya maka dengan ilmu.”
Redaksi diatas bukanlah hadits
melainkan perkataan Imam Syafi’I (w.204 H). redaksi ini terdapat dalam kitab
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam al-Nawawi (w.676 H). Dalam kitabnya
Imam Nawawi menuliskan bahwa redaksi tersebut merupakan perkataan Imam Syafi’i.
Imam Syifi’I berkata “Mencari ilmu lebih utama daripada salat sunnah”, beliau
juga berkarta “Siapa yang menghendaki dunia maka dengan ilmu, barang siapa yang
menghendaki akhirat maka dengan ilmu, dan barang siapa yang ingin keudanya maka
hendak dengan ilmu.”
5.
Cinta
tanah air sebian dari Iman
حب الوطن من الإيمان
“Cinta
Negara sebagian dari Iman.”
Ulama Hadits sepakat bahwa
redaksi ini bukanlah hadits yang berasal dari Rasul. Imam al-Suyuti berkomentar لم
اقف عليه (Saya tidak menemukannya).
6.
Mengetahui diri maka tahu Tuhannya
من عرف نفسه فقد عرف ربه
“Barang siapa yang mengetahui dirinya maka dia
mengetahui Tuhannya.”
Redaksi
ini sangat masyhur, terutama dikalangan ahli tasawuf. Abu al-Mudhaffar bin
al-Sam’ani berkomentar bahwa redaksi ini bukanlah Hadits Marfu’ melainkan
perkataan Yahya bin Muadz al-Razi, ada sumber lain yang berkata bahwa perkataan
ini berasal dari Abu Sa’id al-Kharraz.
Imam Nawawi berkata ليس
بالشبت (tak ada). Lebih
lanjut Imam Taimiyah berkomentar موضع.
Konon, maksud perkataan ini
yakni, barang siapa yang mengetahui dirinya bersifat baru, ia akan mengetahui
bahwa Tuhannya bersifat Qadim (Terdahulu). Barang siapa yang mengetahui dirinya
akan punah atau binasa (Fana’) maka ia akan mengetahuibahwa Tuhannya
kekal (Baqa’).
Hendaknya, sebelum kita menyampaikan atau mengamalkan sebuah Hadits kita harus mengetahui apakah
Hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Saw. atau bukan. Jika Hadits
benar-benar dari Nabi Saw. kita harus menyampaikannya, jika Hadits Maudhu' kita
harus menjelaskan ke-Maudhu'-an Hadits tersebut. Tujuannya, agar umat Islam
dapat mengetahui kemurnian sumber ajaran Islam, yakni Hadits.
Wallahu a'lam . . .
Komentar
Posting Komentar