Manusia dan Cinta
Oleh: Yudi Setiadi[1]
Cinta adalah dorongan mulia dari
sanubari yang memberikan eksistensi diri atau aktualisai dirinya kepada yang
dicintai dan dilukiskan melalui pemberian bukan permintaan. Cinta adalah suatu
kebutuhan fundamental bagi setiap manusia. Manusia sebagai mahluk sosial tentu
membutuhkan orang lain untuk menutupi kekurangannya, hal tersebut memiliki
relasi dengan cinta. Karena manusia melkukan sesuatu kebaikan kepada seseorang
karena dasar cinta. Cinta dalam artian ini tidak terbatas antara lawan jenis,
tetapi juga berlaku untuk sesama jenis. Sesama jenis disini bukan dalam artian
lesbianisme atau homonisme. Sesama jenis disini dimaksudkan perihal cinta ibu
kepada anak perempuannya, ayah kepada anak laki-lakinya dan juga sebaliknya.
Cinta itu bukan hanya perasaan aktif
saja,tetapi juga menuntut kita untuk memiliki komitmen dan tindakan aktif pula.
Dalam relasinya kepada Allah, cinta yang aktif akan mengasilkan ibadah yang
ikhlas, sebagaimana Firman Allah SWT “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
melainkan untuk idabadah.”
Jika ditinjau dari objeknya, cinta
bisa kita klasifikasikan menjadi tiga. Pertama cinta terhadap Sang Pencipta dan
Nabi-Nya, kedua cinta kepada diri sendiri, ketiga cinta kepada sesama manusia.
Seseorang yang ibadah dengan rajin, ikhlas, menjalankan perintah Allah dan
Rasul dapat kita interpretasikan kepada cinta kepada Sang Pencipta dan
Nabi-Nya.
Cinta kepada Sang Pencipta dan
Nabi-Nya adalah dasar dan refleksi cinta kepada diri sendiri dan cinta kepada sesama.
Dalam hal ini, cinta kepada diri sendiri merupakan cerminan diri Rasul yang
selalu merawat tubuhnya hingga dalam catatan sejarah Rasul hanya terkena sakit
beberapakali saja.
Cinta kepada sesama manusia dalam
ajaran Islam –yang turunkan dari Allah kepada Nabi Muhammad- mengajarkan kita untuk mencintai
sesama manusia dan bersikap toleransi terhadap sesama. Dalam ajran Islam,
belumlah lengkap Islam kita hingga mencintai saudara kita sebagaimana mencintai
diri kita sendiri.
Cinta kepada sesama manusia ini
harus ada relasi yang egaliter dan tidak menghendaki adanya subordinasi. Cinta
itu menjamin hak individualisme masing-masing, artinya tidak ada pengekangan
antara satu. Cinta datang dengan sukarela dan tidak memaksa saling mentolelir
satu dengan yang lain karena pada hakikatnya cinta itu dilukiskan dengan
pemberian bukan permintaan. Akan lebih bahagia jika dapat meringankan beban
orang yang dicinta dan akan terasa menyesal jika tidak dapat memeberikan yang
terbaik untuk yang dicintai.
Dalam bergerak dan melakukan
sesuatu, manusia didorong oleh dua kekuatan dalam dirinya yakni akal dan budi
disatu sisi, nafsu dilain sisi. Cinta yang dilandasi akal budi disebut juga
cinta tanpa pamrih, cinta sejati. Cinta nafsu dapat disebut dengan cinta
pamrih. Louis Leahy mengatakan “ Cinta tanpa pamrih disebut cinta kebaikan
hati, sedangkan cinta nafsu atau cinta pamrih disebut cinta utilitaris atau
bermanfaat, artinya mengindahkan kepentingan diri sendiri.”[2]
Untuk mendapatkan cinta Erich Fromm
seorang filsuf mengatakan “cinta ibarat seni, perlu pengetahuan dan latihan
untuk menggapainya”. Apapun yang kita lakukan semua itu ada ilmunya dan perlu
adanya usaha yang didorong dengan semangat yang tinggi.
Komentar
Posting Komentar