Langsung ke konten utama

Filsafat Parmenides

Filsafat Parmenides
Oleh: Yudi Setiadi[1]
Biografi Parmenides
Parmenides adalah seorang filsuf dari Mazhab Elea. Arti nama Parmenides adalah "Terus Stabil", atau "Penampilan yang stabil". Di dalam Mazhab Elea, Parmenides merupakan tokoh yang paling terkenal.[2] Parmenides dilahirkan di kota Elea, Italia Selatan. Ia lahir sekitar tahun 540 SM.[3] Sumber lain mengatakan bahwa ia lahir sekitar tahun 450 SM.[4] Dalam kota tempat lahirnya ia dikenal sebagai orang besar. Ia ahli politik dan pernah memangku jabatan pemerintahan. Tetapi bukan karena itu namanya dikenal. Ia dikenal oleh orang banyak sebagai ahli pikir yang melebihi siapapun juga pada masanya.[5]
Parmenides merupakan logikawan pertama dalam pengertian modern. Sistmnya secara keseluruhan disandarkan pada deduksi logis, tidak seperti Heraclitus, misalnya, yang menggunakan intuisi. Menurut penuturan Plato, pada usia 65 tahun ia bersama Zeno berkunjung ke Athena untuk berdialog dengan Socrates yag masih muda. Karya-karyanya berupa puisi.[6]
Parmenides menulis On Nature, sebuah puisi didaktik yang terdiri dari tiga bagian[7]:
1.      Proem, yang merupakan pengantar bagi keseluruhan naskah tersebut;
2.      Aletheia, yang dikenal sebagai ‘Jalan Kebenaran’ (The Way of Truth) dan merupakan wacana filosofis.
3.      Doxa, yang dikenal sebagai ‘Jalan Pendapat’ (The Way of Appearance/ Opinion), yang merupakan pengungkapan gejala alam. Dario Composta menyebutkan bagian ini sabagai ‘Pandangan’ atau yang dalam zaman kita disebut ‘Persepsi’.[8]
Karya Parmenides sangat pelik sehingga terdapat banyak interpretasi terhadap karya-karyanya. Berikut ini salah satu contoh tulisannya tentang Jalan Kebenaran;
“Engkau tak dapat mengetahui sesuatu yang tak ada ataupun mengutarakannya; sebab sesuatu yang   dipikirkan dan seuatu yang ada adalah sama. Lantas, bagaimanakan sesuatu yang ada sekarang akan menjadi sesuatu di saat mendatang? Atau bagaimana ia menjadi ada? Jika sesuatu itu menjadi ada, sesuatu itu tidak ada; begitu pula jika sesuatu itu menjadi sesuatu di saat mendatang, maka menjadi ada itu tidak ada dan menjadi menjadi tak ada itu tak perlu dihiraukan.”
“Sesuatu yang dapat dipikirkan dan karena sesuatu itu pikiran ada adalah sama. Karena engkau tak dapat menemukan pemikiran tanpa sesuatu yang ada, yang karena itu bisa diutarakan.”[9]
Pemikiran Parmenides
Parmenides kagum dengan adanya misteri segala realitas yang ada. Di situ ia menemukan berbagai kenyataan, dan ditemukan pula adanya hal yang tetap dan berlaku secara umum. Sesuatu yang tetap dan berlaku umum itu tidak dapat ditangkap melalui indra, tetapi mampu ditangkap melalui pikiran atau akal. Untuk memunculkan realitas tersebut hanya dengan berpikir. [10]
Penglihatan kita tidak boleh dipercaya. Hanya pikiran yang dapat mengalami yang sebenarnya. Hanya pikiran yang dapat mencapai ‘Yang Ada’ itu dalam keadaan yang sebenarnya. Pikiran dan ‘Ada’ adalah sama dan satu. Pikiran satu rupa dengan yang menjadi dasarnya. Orang tidak akan mendapat pikiran, jika tidak ada. yang ‘Ada’ itu menjadi sebutannya. Sebab tak ada yang lain dan tidak akan dapat yang lain di luar ‘Yang Ada’.[11]
Untuk mencapai kebenaran, kita tak dapat berpedoman dengan penglihatan yang menampakan kita kepada ‘yang banyak’ dan ‘yang berubah-ubah’. Hanya akal yang dapat mengatakan, bahwa ‘Yang Ada’ itu mesti ada, serta mengakui bahwa ‘yang tidak ada’ itu mustahil ada.[12]
‘Yang Ada’ itu ada, ‘Yang Ada’ itu tidak dapat hilang menjadi tidak ada, dan ‘yang tidak ada’ tidak mungkin muncul menjadi ‘Yang Ada’, ‘yang tidak ada’ adalah tidak ada, sehingga tidak dapat dipikirkan. Yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan.[13]
Setelah berargumentasi mengenai Yang ada sebagai kebenaran, Parmenides juga menyatakan konsekuensi-konsekuensinya:[14]
·        Pertama-tama, Yang Ada adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak mungkin. Hal ini dikarenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan Yang Ada.
·        Kedua, Yang Ada tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan. Dengan kata lain, Yang Ada bersifat kekal dan tak terubahkan. Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab bila Yang Ada dapat berubah, maka Yang Ada dapat menjadi tidak ada atau yang tidak ada dapat menjadi ada.
·        Ketiga, harus dikatakan pula bahwa Yang Ada itu sempurna, seperti sebuah bola yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama. Menurut Parmenides, Yang Ada itu bulat sehingga mengisi semua tempat.
·        Keempat, karena ‘Yang Ada’ mengisi semua tempat, maka disimpulkan bahwa tidak ada ruang kosong. Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar Yang Ada masih ada sesuatu yang lain. Konsekuensi lainnya adalah gerak menjadi tidak mungkin sebab bila benda bergerak, sebab bila benda bergerak artinya benda menduduki tempat yang tadinya kosong.
Untuk menjelaskan secara mudah pemikiran ini, kami akan memberikan contoh sederhana dalam keseharian Mahasiswa. Misalnya, Harkaman mengatakan bahwa,”Tuhan itu tidak ada!”. Tuhan yang eksistensinya ditolak oleh oleh Harkaman itu sebenarnya ada. Artinya, Tuhan harus diterima sebagai dia “yang ada.” Mengapa demikian? Sebab, kalau Harkaman mengatakan Tuhan itu tidak ada, maka Harkaman sudah menerima terlebih dahulu empat proses: (1) Siapa atau apakah Tuhan itu, atau Harkaman telah mempunyai konsep tentang Tuhan, (2) Konsep Tuhan yang telah ia pikirkan, disanggah eksistensinya olehnya dengan berkata, (3) “Tuhan tidak ada!”. Maka, yang dapat dipikirkan dan ditolak dan diungkapkan secara logis harus diterima bahwa yang ada itu ada.
Dalam the way of truth, Parmenides bertanya: Apakah standar kebenaran? Bagaimana hal itu dapat dipahami? Lalu ia menjawab: “ukurannya adalah logika yang konsisten. Contoh: ada tiga cara berpikir tentang Tuhan (1) ada, (2) tidak ada, (3) ada dan tidak ada. Parmenides menganggap bahwa cara berpikir seperti sangatlah keliru, karena yang benar adalah: (1)ada,tidak menyakini yang tidak ada (2) sebagai ada karena yang tidak ada pastilah tidak ada (3) pun tidak mungkin, karena tidak mungkin tuhan itu ada dan sekaligus tidak ada.[15]

REFERENSI
Achmadi, Asmoro. 2010. Filsafat Umum, Jakarat: PT. Raja Grafindo Persada
Hatta, Mohammad. 2006. Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI-Press,
Kusumohamidjojo, Budiono. 2012. Filsafat Yunani Klasik Relevansi untuk Abad XXI, Yogyakarta: Jalasutra,
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya





[1] mahasiswa Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Parmenides diakses pada Jum’at, 11 September 2015
[3] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 2006), h. 21
[4] Ahmad tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 17, h. 49
[5] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 2006), h. 21
[6] Ahmad tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 17, h. 49
[7] https://penakampusadra.wordpress.com/2013/01/05/parmenides/ diakses pada Jum’at, 11 September 2015
[8] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik Relevansi untuk Abad XXI, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h.74
[9] https://penakampusadra.wordpress.com/2013/01/05/parmenides/ diakses pada Jum’at, 11 September 2015
[10] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarat: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), cet. 11, h.40
[11] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 2006), h. 23
[12] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 2006), h. 23
[13] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarat: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), cet. 11, h.40
[14] https://id.wikipedia.org/wiki/Parmenides diakses pada Jum’at, 11 September 2015
[15] Ahmad tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 17, h. 49-50

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paham al-Sharfah

Paham al-Sharfah Oleh: Yudi Setiadi [1] Al-Sharfah terambil dari kata  صرف ( Sharafa ) yang berarti ‘memalingkan’; dalam arti Allah Swt. memalingkan manusia dari upaya membuat semacam al-Qur’an, sehingga seandainya tidak dipalingkan, maka manusia akan mampu. Dengan kata lain, kemukjizatan al-Qur’an lahir dari faktor ekternal, bukan dari al-Qura’an sendiri. [2]             Ada sebagian pemikir yang mengakui ketidakmampuan manusia menyusun semacam al-Qur’an. Menurut mereka, ini bukan disebabkan oleh keistimewaan al-Qur’an, tetapi lebih disebabkan adanya campur tangan Allah Swt. dalam menghalangi manusia membuat semacam al-Qur’an. Paham ini menamai mukjizat al-Qur’an dengan Mukjizat al-Sharfah . [3] Menurut pandangan orang yang menganut al-Sharfah, Cara Allah Swt. memalingkan manusia ada dua macam. Pertama , mengatakan bahwa semangat mereka untuk menantang dilemahkan Allah Swt. Kedua , menyatakan bahwa cara Allah Swt. memalingkan adalah dengan cara mencabut pengetahuan dan ra

منظومة البيقونية (Manzumat al-Baiquniyah) matan dan terjemahan

أَبْـدَأُ بِالحَمْـدِ مُـصَلِّياً علـى * مُحَمَّــدٍ خَيْرِ نَبيِّ أُرْسِلا Aku memulai dengan memuji Allah dan bershalawat atas Muhammad, nabi terbaik yang diutus وَذي مـنْ أقسـامِ الحَديثِ عِدَّهْ * وَكُـلُّ وَاحِـدٍ أَتَى وَعَـدَّهْ Inilah berbagai macam pembagian hadits.. Setiap bagian akan datang penjelasannya أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهُـوَ مَا اتَّصَـلّْ* إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُـذَّ أَوْ يُعَـلّْ Pertama hadits shahih yaitu yang bersambung sanad nya, tidak mengandung syadz dan ‘illat يَرْويهِ عَدْلٌ ضَـابِطٌ عَنْ مِثْلِـهِ  * مُعْتَمَـدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِـهِ Perawi nya ‘adil dan dhabith yang meriwayatkan dari yang semisalnya (‘adil dan dhabith juga) yang dapat dipercaya ke-dhabith-an dan periwayatan nya وَالحَسَنُ المَعْروفُ طُرْقـاً وَغدَتْ * رِجَالَهُ لا كَالصَّحِيحِ اشْتَهَرَتْ (Kedua) Hadits Hasan yaitu yang jalur periwayatannya ma’ruf.. akan tetapi perawinya tidak semasyhur hadits shahih وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الحُسْنِ قَصُـرْ * فَهُوَ